ANALISI PUISI “HUJAN” KARYA SUTARDJI CALZOUUM BACHRI DENGAN PENDEKATAN SEMIOTIK

katapotokita.id

KAJIAN CERITA PENDEK “HUJAN”, KARYA SUTARDJI CALZOUMBAHRI DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STRUKTURAL SEMIOTIK

 

 

A. PENDAHULUAN

Pengkajian terhadap karya fiksi berarti penelaahan, penyelidikan atau mengkaji, menelaah menyelidiki karya fiksi tersebut. Dalam kajian kesastraan, secara umum dikenal adanya analisis strukturan dan semiotik. Stuktural menekankan pada adanya fungsi dan hubungan antar unsur (intrinsik) dalam sebuah karya, sedangkan pemaknaan karya yang di pandang sebagai sebagai sebuah sistem adalah analisis semiotik. Tetapi pada hakikatnya analisis semiotik tidak terlepas dengan struktural.

Tujuan analisis untuk memahami sebuah cerpen yang telah di baca, khususnya cerpen hujan yang akan kami analisis. Karena dalam membaca sebuah cerpen atau karya sastra yang lainnya perlu adanya pemahaman. Tujuannya untuk mengetahui apa sesungguhnya yang di sampaikan pengarang kepada pembaca.

      Memahami suatu karya sastra itu tidak semudah kita memakan mangga. Untuk lebih memahami karya sastra khususnya cerpen harus di analisis terlebih dahulu bisa dengan pendekatan struktural ataupun semiotik.

B.     ISI

Cerpen “hujan” ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotik, tetapi dalam menganalisis pendekatan semiotik harus di sertai dengan pendekatan struktural karena pada dasarnya struktural menjadi dasar saat kita menganalisis dengan pendekatan yang lain. Karena itu terlebih dahulu kami akan menganalisis dengan pendekatan strukural.

            Dalam pendekatan struktural terdapat beberapa point atau hal yang harus dianalisis, yaitu :

1.      Tema

Cerpen “hujan” karya sutardji calzouum bachri mengisahkan tentang seseorang yang senang akan kedatangan hujan dan selalu di buat takjub dengan datangnya hujan hingga ia akhirnya mengerti tentang apa itu hujan untuk dirinya. Jadi tema dari cerpen “hujan” adalah lingkungan.

2.      Tahapan Alur

Adalah susunan peristiwa atau kejadian yang membentuk sebuah cerita.

a.       Tahap Permulaan/ Eksposisi

Adalah bagian yang mengantarkan atau memaparkan tokoh, menjelaskan latar cerita, dan gambaran peristiwa yang akan terjadi. Pada tahap ini diperkenalkan dengan tokoh-tokoh drama beserta wataknya, dan fakta-fakta tertentu, baik secara eksplisit maupun implisit.

Bisa di buktikan pada paragraf pertama:

Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak lelap di kamar. "Alhamdulillah hujan," bilang Ayesha sambil turun dari ranjang dan melangkah ke ruang depan. Ayesha memang senang pada hujan”.

b.      Tahap Pertikaian/ Konflik

Adalah bagian yang mengantarkan atau memaparkan pada persoalan-persoalan pokok yang mulai melibatkan para tokoh. Dalam tahap ini mulai ada  kejadian (insiden) atau peristiwa yang merupakan dasar dari cerita tersebut.

Bisa di buktikan pada paragraf tiga:

“Bermula karena merajuk matahari, ia beranjak senang pada hujan, itu ketika masih uisa sekitar lima tahunan, ketika ikut-ikutan ibunya memindahkan tanaman suplir ke halaman yang lantas remuk redam di batasi panas siang”.

Paragraf empat:

“Kini, sudah lama ia tak benci matahari, tapi tetap saja ia lebih senang pada hujan. Dari hari ke hari, dari hujan ke hujan, ia selalu lebih senang pada hujan. Di kelas, jika hujan datang ia selalu menatap ke luar. Guru mula-mula kesal, tapi akhirnya dibiarkan. Bagaimana pun, ia anak yang pintar. Ayesha selalu masuk dalam rangking terbaik di kelasnya”.

c.       Tahap Perumitan/ komplikasi

Adalah tahap terdapat insiden yang terjadi mulai berkembang dan menimbulkan konflik-konflik yang semakin banyak dan ruwet. Banyak persoalan yang kait-mengait, tetapi semuanya masih menimbulkan tanda tanya.

Bisa di buktikan pada paragraf

Paragraf sepuluh:

“Dan ia pun kini paham, hujan di luar mengajak bangkit hujan yang di dalam dirinya. Nyanyi hujan di atap, lambaian hujan pada dedaunan, dan kaki-kaki hujan di halaman terus memanggil-manggil.  Jangan engkau bilang bunyi hujan. Hujan bukan sekedar gertap di kaleng Khong Guan, misalnya bagi Ayesha, hujan adalah ucapan yang memdedah sastra, nyanyi, musik, atau tari. Lihatlah, hujan menyibak-nyibakkan tarian pada dedaunan dan melentun anggun pada dahan dan batang”.

Paragraf sebelas:

“Terpagu dalam tarian hujan, Ayesha mulai bersijingkat ke tengah ruangan dan segera melangkahkan tarian. Bagai angksa mengaruni telaga, ia pun asyik melayarkan tari. ah, tidak tepat benar seperti angsa. Angsa tak pernah basah dengan tarian, sedangka Ayesha melulu basah dengan tarian. Namun, jika engkau cicipi teguk atau sikunya, kau takkan merasakan asin keringat di sana. Arena yang basah itu hujan”.

d.      Klimaks

Adalah tahapan puncak dari berbagai konflik yang terjadi dalam drama tersebut. Bila dilihat dari sudut pembaca cerita maka klimaks adalah puncak ketegangan. Bila dilihat dari sudut konflik maka klimaks adalah titik pertikaian paling ujung antar tokoh.

Bisa di buktikan pada paragraf dua belas:

“Ia telah menjadi hujan sekarang. Ia menderas dari pojok kepojok ruangan menarik hujan. Bila piroutte ia putarkan, hujanlah yang memutarkan. Sesaat ia tegak tenang, membuat batang hujan dari lekuk tubuhnya. dan membiarkan rintik-rintik tari merajut-rajut rambut hujan di tengkuknya. Lantas, jari-jemari kakinya meniti-niti tari sambil membiarkan tempias dari di lantai. Maka, lantai ruangan ikut basah dengan tarian. Lihatlah, ia menekukkan lutut dan tangan anggun tariannya memetik kuncup hujan yang perlahan-lahan berkembang menjadi mawar hujan ke seluruh badan. Lalu, datanglah kupu-kupu hujan dari negeri yang jauh menangkap telinganya, membuahi dengan rintik-rintik musik dari negeri kekal yang dekat sekaligus jauh. Kini, Ayesha telah memiliki buah dan mawar hujan. Sekarang ia telah sampai pada kematangan hujan. Jika tarinya membelai mawar hujan, hujanlah yang membelainya. Bila ia memetik musik hujan, hujanlah yang memetik”.

e.       Tahap Peleraian/ Resolusi

Dalam tahap ini dilakukan penyelesaian konflik. Jalan keluar penyelesaian konflik-konflik yang terjadi sudah mulai tampak jelas.

Bisa di buktikan pada paragraf tiga belas:

Dalam puncak hujan tarian itu, tiba-tiba pintu di buka dari luar. Ayesha tersentak, dan putuslah tarian. Ibunya pulang dari super market terperangah sesaat melihat lantai basah dan Ayesha yang tertegun bagaikan patung yang masih menangkap sisa hujan. Ibu memandang langit-langit. Kering, tak ada basah disana. Ia pun tersenyum, lantas ia letakkan plastik belanjaan di sofa dan pergi mengambil handuk di kamar. "Rupanya engkau mengembara lagi, Ayesha," ujarnya sambil mengelap tubuh anaknya yang masih terpancang diam dan menyimpan hujan. Dan gumpalan jari-jemari katunhanduk itu perlahan-lahan melikan Ayesha pada dunia yang kering kerontang.

f.       Tahap Penyelesaian

Penyelesaian merupakan tahap terakhir dari sebuah cerita. Dalam tahap terakhir ini semua konflik berakhir dan cerita selesai.

Bisa di buktikan pada paragraf tiga belas:

Dalam puncak hujan tarian itu, tiba-tiba pintu di buka dari luar. Ayesha tersentak, dan putuslah tarian. Ibunya pulang dari super market terperangah sesaat melihat lantai basah dan Ayesha yang tertegun bagaikan patung yang masih menangkap sisa hujan. Ibu memandang langit-langit. Kering, tak ada basah disana. Ia pun tersenyum, lantas ia letakkan plastik belanjaan di sofa dan pergi mengambil handuk di kamar. "Rupanya engkau mengembara lagi, Ayesha," ujarnya sambil mengelap tubuh anaknya yang masih terpancang diam dan menyimpan hujan. Dan gumpalan jari-jemari katunhanduk itu perlahan-lahan melikan Ayesha pada dunia yang kering kerontang.

3.      Jenis Konflik

a.      Konflik Manusia dengan Manusia

Bisa di buktikan pada paragraf empat:

Di kelas, jika hujan datang ia selalu menatap keluar. Guru mula-mula kesal, tapi akhirnya di biarkan. Bagaimana pun, anak itu pintar. Ayesha selalu masuk dalam rangking terbaik di kelasnya.

Paragraf tiga belas:

Dalam puncak hujan tarian itu, tiba-tiba pintu di buka dari luar. Ayesha tersentak, dan putuslah tarian. Ibunya pulang dari super market terperangah sesaat melihat lantai basah dan Ayesha yang tertegun bagaikan patung yang masih menangkap sisa hujan. Ibu memandang langit-langit. Kering, tak ada basah disana. Ia pun tersenyum, lantas ia letakkan plastik belanjaan di sofa dan pergi mengambil handuk di kamar. "Rupanya engkau mengembara lagi, Ayesha," ujarnya sambil mengelap tubuh anaknya yang masih terpancang diam dan menyimpan hujan. Dan gumpalan jari-jemari katunhanduk itu perlahan-lahan melikan Ayesha pada dunia yang kering kerontang.

b.      Konflik Manusia dengan Alam

Bisa di buktikan pada paragraf ketiga:

Bermula karena merajuk matahari, ia beranjak senang pada hujan, itu ketika masih uisa sekitar lima tahunan, ketika ikut-ikutan ibunya memindahkan tanaman suplir ke halaman yang lantas remuk redam di batasi panas siang.

Paragraf ke empat:

Kini, sudah lama ia tak benci matahari, tapi tetap saja ia lebih senang pada hujan. Dari hari ke hari, dari hujan ke hujan, ia selalu lebih senang pada hujan. Di kelas, jika hujan datang ia selalu menatap ke luar. Guru mula-mula kesal, tapi akhirnya dibiarkan. Bagaimana pun, ia anak yang pintar. Ayesha selalu masuk dalam rangking terbaik di kelasnya.

Paragraf delapan:

Ayesha ingin memetik buah hujan tanpa menanggalkan jambu. Ia ingin meraih mawar hujan tanpa mengganggu mawar halaman. Ia ingin meniti dahan dan menyibak-nyibak ranting hujan tanpa mematahkan ranting dan bebani dahan itu. Ia ingin berjinjant pada pagar hujan tanpa menginjak besi pagar. Ia ingin, tapi ia tak mau membuka pintu melangkah ke luar dan masuk ke dalam pintu.

Paragraf sembilan:

"Buat apa? Bercakap-cakap dengan hujan, memetik hujan, bukanlah harus berhujan-hujan. Engkau memetik makna ucapan orang, tidaklah harus masuk ke mulut orang atau memetik lidahnya," bilang Ayesha.

Paragraf sepuluh:

Dan ia pun kini paham, hujan di luar mengajak bangkit hujan yang di dalam dirinya. Nyanyi hujan di atap, lambaian hujan pada dedaunan, dan kaki-kaki hujan di halaman terus memanggil-manggil.  Jangan engkau bilang bunyi hujan. Hujan bukan sekedar gertap di kaleng Khong Guan, misalnya bagi Ayesha, hujan adalah ucapan yang memdedah sastra, nyanyi, musik, atau tari. Lihatlah, hujan menyibak-nyibakkan tarian pada dedaunan dan melentun anggun pada dahan dan batang.

c.       Konflik Manusia dengan Tuhan

Bisa di buktikan pada paragraf pertama:

Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak lelap di kamar. "Alhamdulillah hujan," bilang Ayesha sambil turun dari ranjang dan melangkah ke ruang depan. Ayesha memang senang pada hujan.

d.      Konflik Manusia dengan Batin (Diri Sendiri)

Bisa di buktikan pada paragraf pertama:

Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak lelap di kamar. "Alhamdulillah hujan," bilang Ayesha sambil turun dari ranjang dan melangkah ke ruang depan. Ayesha memang senang pada hujan.

Paragraf enam:

Tidak sekedar senang pada hujan, kemudian ia pun bertanya-tanya sendiri tentang hujan. Bukan cuma butir-butir air yang mengucur di langit. Bukan hanya runcing di ubun-ubun ketika orang lewat di jalan. Pastilah ada sesuatu yang lain dari hujan, begitu pikir Ayesha. Lantas, setiap hujan datang ia selalu menyapa, apakah hujan. Hujan menjawab dengan hujan. Dengan gemericik air, dengan gemertap di atap, denganbutir-butir dingin dan segar yang bersambungan sampai langit.

4.      Latar

Latar adalah keterangan mengenai ruang, waktu serta suasana terjadinya peristiwa –peristiwa di dalam suatu karya sastra. Atau bisa juga latar yaitu semua keterangan, petunjuk pengaluran yang berhubungan dengan ruang, waktu, dan suasana.

a.       Latar tempat

Latar tempat yaitu dimana tokoh atau si pelaku mengalami kejadian atu peristiwa di dalam cerita misalnya:

1)      Rumah (diruang depan)

Dalam cerpen tersebut dapat di buktikan latar ruang nya di dalam paragraf ke-2 pada kutipan

“di ruang depan dan dari kaca jendela di amatinya hujan dihalaman. Ia juga tak mengucapkan selamat datang buat apa, hujan selalu selamat. Kalau kata-kata semacam itu di ucapkan bakal berlebihan, piker Ayesha.

2)      kelas

Dalam cerpen tersebut dapat kita buktikan latar tempatnya di dalam paragraf ke-3 pada kutipan

“kini, sudah lama ia tak benci matahari, tapi tetap saja ia lebih senang pada hujan. Dari hari kehari, dari hujan kehujan ia selalu senang pada hujan . di kelas, jika hujan datang ia selalu menatap keluar.

5.      Jenis plot atau jenis plot

Alur adalah struktur rangkaian kejadian-kejadian di dalam sebuah cerita yang di susun secara kronologis. Atau rangkaian cerita dari awal sampai akhir cerita. Dalam cerpen tersebut alur atau plotnya menggunakan alur campuran (maju mundur).

Alur jenis ini merupakan gabungan antara alur maju dengan alur mundur. Satu saat cerita berjalan maju namun, pada saat yang lain cerita berjalan mundur. Alur jenis ini memang tidak mudah untuk di pahami karena tahapan dalam peristiwa melompat-lompat. Cerita jenis ini membutuhkan kosentrasi tinggi untuk memahami ceritanya.

Bisa dibuktikan pada :

a.       Alur maju

Terdapat pada alinea pertama “Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak lelap di kamar. “Alhamdulillah hujan,” bilang Ayesha sambil turun dari ranjang dan melangkah ke ruang depan. Ayesha memang senang pada hujan”.

b.      Alur mundur

Terdapat pada alinea ke-3 “Bermula karena merajuk pada matahari, ia beranjak senang pada hujan. Itu ketika masih usia sekitar lima tahunan, ketika ikut-ikutan ibunya memindahkan anak tanaman suplir ke halaman yang lantas remuk redam dibantai panas siang”.

c.       Alur maju

Terdapat pada alinea ke-6 “Kini, dalam jenjang usia enam belas, bagian-bagian tubuhnya elok membesar, bersama hati dan pikiran yang ikut berkembang. Dari hujan ke hujan, hujan semakin membukakan diri selapis-selapis padanya. Dan ia mulai semakin paham hujan. Lewat kaca jendela, ditatapnya hujan yang sedang membukakan makna. Butir-butir air lebat bersama angin menyibakkan dedaunan di halaman, dan pada dedaunan itu hujan menjadi dedaunan hujan. Deras hujan meniti-niti pagar dan pada pagar itu ia menjadi pagar hujan”.

6.      Tokoh dan penokohan

Tokoh dan penokohan pada cerpen tersebut adalah :

a.       Ayesha

Ayesha adalah seorang anak menyukai datangnya hujan dan anak yang pintar. Ini dapat kita lihat pada kutipan berikut.

“Di kelas, jika hujan datang ia selalu menatap keluar. Guru mula-mula kesal. Tapi akhirnya dibiarkan. Bagaimanapun ia anak yang pintar. Ayesha selalu masuk dalam rangking terbaik di kelasnya. Dalam cerpen ini tokoh Ayesha sangat senang sekali pada hujan karena menurutnya hujan mendatangkan kebahagiaan. Jika hujan datang, ia serasa kedatangan teman yang akrab”.

b.      Ibu Ayesha

Ibu Ayesha mempunyai watak yang mengerti terhadap apa yang disenangi anaknya. Dapat dibuktikan dalam kutipan:

“Ibunya pulang dari super market terperangah sesaat melihat lantai basah dan Ayesha yang tertegun bagaikan patung yang masih menangkap sisa hujan. Ibu memandang langit-langit. Kering, tak ada basah di sana. Ia pun tersenyum, lantas ia letakkan plastik belanjaan di sofa dan pergi mengambil handuk di kamar. “Rupanya engkau mengembara lagi, Ayesha,” ujarnya sambil mengelap tubuh anaknya yang masih terpancang diam dan menyimpan hujan.

7.      Titik kisah atau sudut pandang

Pada cerpen “hujan” karya sutardji, sudut pandangnya menggunakan orang kedua sebagai tokoh utama yaitu Ayesha. Dapat dibuktikan dengan kutipan :

Paragraph ke-1,

“Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak lelap di kamar.

“Alhamdulillah hujan,” bilang Ayesha sambil turun dari ranjang dan melangkah ke ruang depan. Ayesha memang senang pada hujan”.

 

 

Komentar

Postingan Populer